Halaman

Sabtu, 22 Oktober 2011

PARTAI GAGAL REKRUTMEN DAN KADERISASI

639ilustrasi_bendera_parpolREPUBLIKA, Di mata Peneliti Center for Electoral Reform (Cetro), Refly Harun, rendahnya kualitas anggota DPR saat ini merupakan kegagalan partai politik melakukan kaderisasi dan rekrutmen. Karena itu, dia menilai aneh jika anggota DPR dan partai justru mempersoalkan sistem proporsional terbuka, dan ingin kembali ke sistem proporsional tertutup. Tapi, Cetro mengusulkan jalan tengah untuk mengakomodasi keinginan itu, yaitu dengan sistem proporsional campuran (mixed member proportional). Bagaimana detailnya? Berikut wawancara wartawan Republika, Harun Husein, dengan Refly:
Sekarang sistem proporsional terbuka mulai banyak digugat, karena suara terbanyak tak membuat kualitas anggota DPR menjadi lebih baik. Komentar Anda?
Sebenarnya aneh kalau partai-partai tiba-tiba ribut soal kegagalan sistem proporsional terbuka. Lho, mereka mencalonkan siapa? Kan tanggung jawab partai untuk mencalonkan orang-orang yang serius, bukan sekadar populer. Kemarin kan ada kesan sekadar memenuhi slot. Bahkan ada kesan, dijadikan ajang untuk mencari duit oleh partai politik. Partai politik itu membuka pendaftaran caleg, di tempatkan di tempat-tempat yang gampang terlihat, dengan membayar sejumlah uang. Lalu, merekrut orangorang terkenal yang tidak ada latar belakang politiknya sama sekali.
Jadi, kalau bicara kualitas, ditentukan oleh sejauh mana partai itu melakukan kaderisasi. Kan salah satu fungsi partai adalah melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik. Nah, selama ini partai tidak bekerja. Partai politik hanya menjadi electoral machine, mesin pengeruk suara.
Artinya yang ada di Senayan sekarang ini merupakan output kegagalan partai?
Yaa, kegagalan partai melakukan rekrutmen politik dan kaderisasi. Kalau mereka bekerja, maka sesungguhnya siapapun yang mereka calonkan, akan berkualitas. Ini kan tidak. Mereka terkesan hanya sekadar menjadi electoral machine. Bahkan, calon itu menjadi electoral machine.
Hanya menjadi vote getter...
Bolehlah kalau diistilahkan vote getter. Tapi, dulu, vote getter hanya dipasang, tapi tidak menjadi anggota DPR. Sekarang, mereka menjadi anggota DPR.
Berdasarkan perhitungan kami, dari 560 anggota DPR saat ini, 83 persen berada di nomor urut satu dan dua. Mereka peraih suara terbanyak, tapi juga di nomor urut atas. Apakah tuntutan kembali ke proporsional tertutup itu wajar, jika caleg terpilih masih banyak difasilitasi nomor urut?
Aneh kalau partai politik mengeluhkan kualitas calon dengan sistem proporsional terbuka, kalau yang terpilih mayoritas nomor urut satu dan dua. Sebab, yang terpilih adalah preferensi partai bersangkutan. Kan partai yang menempatkan seseorang di nomor urut satu dan dua, karena menghendaki merekalah yang terpilih.
Jangan-jangan, mereka (partai –Red) me nempatkan orang di nomor satu dan dua itu berdasarkan orang yang nyetor saja. Atau orang-orang yang ditempatkan untuk mengeruk suara saja. Coba deh cek orang-orang terkenal, misalnya artis dan anak-anak pembesar, umumnya di nomor urut satu dan dua.
Yang bikin rusak ka derisasi politik kan yang begitu: Cari orang terkenal dan cari pejabat-pejabat lokal —baik anak, suami, istri, ibu, dan sebagainya— untuk dimajukan. Kalau partai politik mengajukan calon yang ti dak berkualitas, yaa begitu akhirnya. Dan, fenomena yang sama juga terjadi di DPD.
Bagaimana seharusnya partai mencalonkan seseorang untuk mengisi lembaga perwakilan rakyat?
Mestinya mereka mencalonkan, kalau kita bicara kaderisasi partai, adalah yang sudah menjalani karier di DPRD misalnya. Misalnya, dari DPRD kabupaten/ -kota naik ke DPRD provinsi. Dari DPRD provinsi naik ke DPR. Kalau mereka langsung lompat pagar ke DPR, seharusnya orang-orang itu punya pengalaman dan keahlian yang sangat khusus.
Tapi, yang terjadi nggak. Mereka langsung lompat tanpa melalui kaderisasi. Biasanya kalau nggak artis, orang terkenal di daerahnya, anak dan istri pembesar. Ketika terpilih, barang kali tidak con cern di bidang itu. Mereka kemudian banyak yang hanya ingin men jadi anggota DPR tanpa bekerja. Kerjanya mungkin hanya ngurusi anaknya, suami nya, istri nya, perusahaannya, tapi mereka pejabat pu blik yang berhak atas fasilitas publik. Misalnya pesawat kelas satu, PIN negara. Jadi kerjanya tidak, gayanya doang.
Jika kembali ke proporsional tertutup dengan alasan penguatan partai, dan agar partai bisa mencalonkan orang yang mumpuni, apa pendapat Anda?
O, itu setback sekali. Kalau proporsional tertutup, akan makin mengaburkan konsep keterwakilan kita. Dan, sebenarnya, kita tidak bisa me li hat anggota DPR itu hanya sekumpulan orang-orang yang punya keahlian di bidang tertentu saja. Yang paling dihargai dari seorang politikus di mana pun adalah trust masyarakat. Bahwa masyarakat percaya, kenal dia, dan memilih dia sebagai wakilnya. Tapi, kan di Indonesia tidak pernah terjadi yang begitu. Kita memilih tidak pernah ada pertimbangan apa-apa. Main coblas-coblos aja.
Bagaimana dengan MMP yang digagas Cetro?
Menurut saya, sistem MMP ini bisa mewadahi dua kepentingan: kepentingan terhadap calon yang dikenal publik, sehingga representativeness atau keterwakilan lebih bisa dicapai, tapi partai politik tidak ditinggalkan, karena partai berhak atas 50 persen lists kursi yang diperebutkan. Jadi, kalau anggota DPR 560 orang, 280 di tentukan partai politik berdasarkan nomor urut, sementara, 280 lainnya ditentukan masyarakat secara langsung, karena mereka langsung memilih calon bersangkutan. Konsep ini jauh lebih adil ketimbang proporsional tertutup.
Dengan MMP keterwakilan menjadi jelas. Apakah saat ini tidak jelas?
Sekarang kita diwakili oleh empat calon: DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR, dan DPD. Tapi, ketika ada masalah, kita tidak tahu mengadu kepada siapa. Akhirnya, mengadu ke Komnas HAM, ke LBH, atau langsung mengadu ke menteri, presiden, dan sebagainya.
Mestinya, masyarakat pertama kali mengadu kepada wakilnya. Tapi, kalau kita datang ke DPR, kita bertemu dengan institusinya. Dari institusi di-refer ke komisi dan lain sebagainya, yang barang kali tidak menyelesaikan masalah.
Lain kalau konstituensinya (dapilnya) kecil. Kita kan bisa genjot dia (wakil rakyat) memperjuangkan kepentingan kita. Kalau nggak, kita kampanye jangan pilih dia untuk pemilu berikutnya. Kan begitu di Amerika.
Karena fungsi itu tak dijalankan, maraklah komisi-komisi independen?
Yaa, marak komisi-komisi itu, bahkan LSM. Orang datang ke LSM. Kan aneh. Orang datang ke Kontras, LBH, karena fungsi representativeness wakil rakyat itu nggak dijalankan. Dengan sistem proporsional tertutup, tambah nggak jelas konsep ke ter wakilan kita: konstituen dan wa kil rakyat, makin nggak ada hubungannya.
(-)

Selasa, 18 Oktober 2011

RAKOR DPC


Senin, 17 oktober 2011. Jam menunjukkkan pukul 15.30. Gerimis mulai turun perlahan. Tak sampai 15 menit, gerimis akhirnya berhenti. Tampak beberapa orang dengan sepeda motor berdatangan ke sebuah rumah di desa Pule Kecamatan Selogiri Kab. Wonogiri.
Orang-orang inilah ‘laskar’ PKS DPC Selogiri Kab. Wonogiri. Seperti biasanya, mereka akan mengadakan rakor (rapat koordinasi). Adapun rapat ini dihadiri oleh Pengurus DPC PKS Selogiri yang terdiri dari dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Ketua : Bidang Kaderisasi, Bidang Kewanitaan, Bidang Kepemudaan, Bidang Sosial Ekonomi, Bidang Humas Media, dan beberapa staf. Jam 4 kurang, rapatpun dimulai. Rapat dimoderatori oleh Riyadi selaku sekretaris. Dimulai dengan basmallah, lalu dilanjutkan dengan prakata dari Bapak Bambang selaku ketua DPC PKS Selogiri.
Selesai prakata dari ketua DPC yang juga sekaligus menyampaikan agenda rapat di hari tersbut, juga disampaikan tausiyah oleh Wahyudi (Kabid Kaderisasi). Barangkali pemberian tausiyah ini jarang terjadi di rapat-rapat partai lain, tetapi bagi PKS seakan tausiyah dalam rapat-rapat mereka adalah hal yang ‘wajib’ (wajib disini bukanlah hukum wajib dalam fikih agama-red) dilakukan.
Tausiyah yang diberikan oleh Wahyudi mengangkat tema sebuah pertanyaan “siapakah kita?”.
Selesai tausiyah, rapat kembali dipimpin oleh Bapak Bambang.  Adapun agenda rapat yang dibahasa dalam pertemuan tersebut meliputi persiapan pelaksanaan rencana kerja DPC dalam rangka menyongsong Muskerda DPD PKS Kab. Wonogiri, sekaligus sebagai sarana persiapan Muskercab.
Selain hal tersebut, juga dibahas tentang qodoya (kondisi) internal pengurus DPC. Dalam pembahasan ini, terjadi sedikit perubahan personal dalam struktur kepengurusan. Terutama untuk Bidang Kewanitaan dan Bidang Humas Media ada penambahan personel.
Masuk waktu maghrib, rapat diakhiri dengan berbagai keputusan. Diantaranya adalah rencana pelaksanaan Rapat Kerja menyogsong Muskerda dan Muskercab rencananya (insyaAllah) akan dilaksanakan pada Hari Minggu, 30 Oktober 2011. Selesai rapat, dilanjutkan dengan sholat maghrib berjamaah. (Tar_Bid. Humas Media)




                                                                                                                                                

 

KABAR DPC

KIPRAH KEWANITAAN

KOLOM